Mengulik perjalanan kaulinan barudak sebagai sebagai objek pemajuan kebudayaan Garut
Siapa bilang permain rakyat
telah punah? banyak anggapan yang menyangsikan bahwa permainan rakyat bisa
tetap hadir saat ini dan tetap hidup di masyarakat Garut. Berita-berita tentang
kejautahn permainan rakyat di hadapan permainan modern, sebut saja playstation,
pubg, clash of clan atau permainan
daring lainnya yang seolah-olah telah menenggelamkan permainan rakyat di
kabupaten Garut. Tapi, jangan salah sangka, belakangan animo pemerintah dan
masyarakat Garut semakin meningkat seiring melek literasi dan menguatnya
kesadaran lokal.
Di tahun 2013, perkara tentang
tergerusnya permainan rakyat/permainan tradisional sempat menjadi buah bibir di
kalangan masyarakat.[1]
Berkat upaya dari berbagai pihak terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Pemprov Jabar dan kabupaten Garut, mengemas kembali permainan untuk
anak dalam konsep lomba permainan anak, menghidupkan dan menggugah gairah permain tradisional, akhirnya
permainan rakyat kembali menjadi primadona. Meskipun, menurut penuturan
masyarakat setempat, di kota Garut, pada waktu itu, popularitas permainan
rakyat masih kalah jauh dengan permainan modern. Apalagi istilah yang digunakan
pada permainan anak itu cenderung tidak dikenal semakin menambah potret buram
dari permainan rakyat. Misalnya, permainan gasing, yang ternyata masyarakat di
sana mengenalnya dengan istilah panggal atau papanggalan.
Sesungguhnya, permainan anak
atau kaulinan barudak, dalam bahasa Sunda merupakan produk kebudayaan
yang telah mengakar kuat secara historis di Indonesia, khususnya di kota Garut.
Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun anak-anak, yakni kurangnya
partisipasi masyarakat sebagai agen praktik kebudayaan, khususnya permainan
anak, apalagi dorongan budaya asing yang
dibingkai dalam permainan modern, playstation di garut menjadi pendorong
kurangnya keterlibatan anak. Aktivitas fisik cenderung terbatasi ruang
geraknya.
Implikasi dari hal ini bermuara
pada menyatunya dan menguatnya semangat partisipasi budaya di kalangan
masyarakat dan pemerintah. Gejala ini, sesungguhnya telah menguat pada tahun
2012. Nafas segar kebangkitan permain tradisional/anak mengemuka dengan
diselenggarakannya permainan tradisional atau “kaulinan barudak lembur” di
setiap kecamatan di kabupaten Garut, Jawa Barat[2].
Anak-anak menghembuskan nafas segar dari antusias ini dan ini berkat tanggapan
dari Dinas kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Garut. Pada perhelatan permainan
tradisional tersebut, setidaknya terdapat enam permainan yang ditampilkan,
yaitu egrang, mobil-mobilan, bebedilan, perepet jengkol, mang gangsing dan gatrik.
Harapan demi harapan dilontarkan pada pelestarian permainan anak/tradisional
ini dengan tujuan agar anak-anak di kota Garut dapat kembali merasakan indahnya
bermain bersama di ruang terbuka dengan kebahagiaan dan keceriaan.
Perjuangan panjang Permainan anak di tanah Garut melalui festival
Stimulus yang telah dilaksanakan
pemerintah provinsi dan dinas pariwisata Garut menggerakkan para pegiat
kebudayaan untuk lebih membumikan permainan anak/kaulinan barudak. Tentu
para pegiat kebudayaan tidak ingin khazanah budaya ini lenyap begitu saja tanpa
ada gebrakan untuk menempatkan permainan anak dominan terhadap permainan modern
atau berasimilasi terhadapnya.
Di tahun 2013, hadirnya
komunitas Hong di Bandung yang menggelar festival kaulinan barudak di 26
Kabupaten kembali menggairahkan permainan tradisional di Garut[3].
Dengan beranggotakan empat atau lima orang dalam satu tim Permain anak di
lakukan di masing-masing kabupaten dan selanjutnya diperlombankan seprovinsi
Jabar di Bandung. Tentu angin segar seperti ini patut diapresiasi karena
membangkitkan potensi permainan anak dan menggerakkan anak-anak untuk aktif
secara kognitif dan psikomotorik dalam bermain.
Inisiasi terhadap festival kaulinan
barudak yang melibatkan anak-anak kota Garut jika dirunut maka ternyata
festival tersebut telah dimulai sejak tahun 2008. Festival tersebut tepatnya
bernama Festival Kaulinan Barudak Baheula tanggal 14 Desember 2008 yang
diinisiasi oleh Epi Gunawan S.Pd. di Bale Seni Barli-Kota Baru Parahyangan,
Bandung Barat[4]. Festival ini menghadirkan
perlombaan pada 9 jenis kaulinan Barudak, yaitu Jajangkungan, Rorodaaan, Bedil
Jepret, Sumpti, Papancakan, Gasing, Gatrik, Babalonan Sarung, dan Sorodot
Gaplok. Kesadaran terhadap pentingnya permainan tradisional bagi anak telah
lama menjadi agenda kota Garut. Dalam perjalanannya yang cukup panjang,
upaya-upaya ini tentu menjadi titik tolak dari pagelaran-pagelaran lainya yang
mendekatkan budaya kepada anak.
Tak ingin pula hanya dicap sekedar
acara selebrasi tahunan dan tak berlanjut pada tahun-tahun berikutnya,
perhelatan permainan anak ini memperluas jangkauannya. Sasarannya yaitu pada
kalangan mahasiswa. Bekerja sama dengan Mahasiswa Universitas Langlang Buana,
Bandung, Pemkab Garut mengusung konsep pelaksanaannya di objek wisata alam,
yaitu danau Situ Cangkuang. Pada dasarnya permainan anak / tradisional bukanlah
aktivitas yang hanya diwajibkan oleh anak-anak saja, melainkan pada seluruh
masyarakat. Penyelenggaraan kulinan lembur di obyek wisata memancing
ketertarikan wisatawan yang berkunjung. Momentum untuk menghidupkan objek
wisata dipadukan dengan semangat memajukan permainan anak menjadi gebrakan di sektor
pariwisata di kota Garut[5].
Bahkan untuk mendongkrak
popularitas dari permainan tradisional, pada tahun 2015, hotel Cipanas Garut
memberikan fokus lebih. Buktinya, pihak hotel memberikan fasilitas permainan,
berupa Egrang, bakiak, tarik tambang,
bedah balong, dan lainnya[6].
Meskipun cukup kontras dengan kehidupan alami dari permainan anak ini di desa
Pangeureunan, Balubur Limbangan, Garut. Permainan anak dimainkan secara alami
tanpa perlu dilaksanakan festival. Anak-anak bermain secara alamiah
berinteraksi dengan sesamanya. Permainan yang mereka mainkan pun bersumber dari
alam, yaitu mobil-mobilan yang terbuat dari kayu dan bambu[7].
Terlepas dari hal tersebut, bahwa semangat pelestarian permainan anak perlu
melibatkan, baik secara alamiah ataupun festival, pelaku-pelaku kebudayaan
bekerja sama dengan pemerintah ataupun instansi lainnya.
Di tahun 2018 merupakan puncak
dari upaya untuk menguatkan permainan tradisional di masyarakat secara masif. Melalui
Gebyar Pesona Budaya garut (GPBG), promosi terhadap permainan tradisional merupakan
salah satu agenda yang menjadi daya tarik nasional bagi kebudayaan Garut [8].
Permainan tradisional tidak saja ditampilkan tetapi juga aktif dimainkan oleh
anak-anak dan orang dewasa.
Potensi Permainan anak untuk memajukan kebudayaan Garut
Permainan anak di tanah Pasundan,
Garut memberikan nafas perbaikan struktur kebudayaan pada akar rumput. Di antara
banyaknya produk kebudayaan, permainan anak/tradisional, salah satunya
mengandung nilai-nilai yang penting bagi anak-anak. Setidaknya terdapat 3 nilai
penting dari hadirnya permainan anak, misalnya pada permainan konclong. 3 nilai
inilah yang dapat melatih anak-anak untuk peka terhadap diri dan lingkungan[9].
Pada permainan konclong, anak-anak dilatih daya tahan, keseimbangan, dan daya
lentur untuk mengasah kemampuan motoriknya. Pada segi kognitifnya, anak-anak
dilatih imajinasi, kreativitas, dan strateginya. Dan dari segi lingkungan, maka
tempat bermain permainan konclong yang berupa ruang terbuka adalah kunci untuk
memastikan tumbuh kembang anak berdampingan dengan lingkungan.
Rasanya bukanlah sebuah
angan-angan bahwa permain anak/tradisional di garut dapat kembali menempati
posisi yang jauh lebih baik untuk pemajuan kebudayaan kota Garut. Kayanya
permainan anak, misalnya Ayang-ayang Gung atau simar menunjukkan potensi untuk
mengembangkan kemampuan anak dalam hal bersosialisasi serta bersikap dan
bertutur dibandingkan dengan permainan modern.
Bukan karena zaman ataupun
populernya permainan modern, melainkan minimnya aktivitas ataupun informasi
yang dapat diakses oleh masyarakat Garut terhadap permainan-permainan ini.
Misalnya belum adanya infografis, ataupun komunitas di garut yang fokusnya pada
pelestarian permainan anak/tradisional. Kandungan dari permainan, di samping
tata cara permainan ini, adalah salah satu yang perlu untuk ditingkatkan.
Selain itu, perlu adanya regulasi yang jelas terkait keberlangsungannya di
kalangan masyarakat.
Misalnya saja, masih banyak yang
belum mengetahui bahwa permainan anak/tradisional termasuk ke dalam jenis
folklore bukan lisan atau belum lepasnya stigma ‘kampungan’ jika pada permainan
anak. Maka tidak heran jika pada kongres
kebudayaan 2018 telah dirumuskan beberapa kesepakatan terkait unsur kebudayaan
apa saja yang dapat memajukan kebudayaan di Indonesia, khususnya di kota Garut.
Permainan tradisional kota Garut sebagai
praktik budaya berpijak pada keseharian masyarakat dalam berbudaya. Secara
tidak langsung, hidup berdampingan dengan konsep hidup tradisional hingga
kontemporer (modern) tidak bisa diasingkan begitu saja semata-mata karena
perbedaan.
Pesatnya arus permainan modern,
tidak lantas membuat permainan tradisional tersingkir. Jika permainan
tradisional menguat maka tidak perlulah juga lantas menjauh dari permainan
modern. Perlu kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan tersebut. Pelaksanaan
Gebyar Pesona Garut 2018 merupakan langkah bijaksana untuk mempromosikan secara
berkelanjutan kepada masyarakat Garut, khususnya anak-anak. Lestarinya permaianan
tradisional memerlukan sinergi antara berbagai pihak.
Pada tahap ini, di kota garut,
permainan tradisional didorong, antara lain: Ayang-ayang Gung, Bancakan,
Babagongan, Bekles, Congklak, Damdaman, Dang Ding Kripit, Encrak, Gangsing,
Hahayaman, Bandring, Kolecer, Cemen, Blung Blong, dan lain sebagainya[10]
untuk mampu menyesuaikan dengan keadaan tetapi tetap sebagai fungsinya untuk
memajukan kebudayaan. Belakangan, dengan menguatnya, semangat partisipasi
terhadap kebudayaan maka hal yang berpotensi terjadi adalah hal-hal positif
terhadap kebudayaan.
Permainan rakyat Garut dapat mengembalikan
nilai-nilai luhur yang melekat pada setiap permainan rakyat. Keragaman budaya di
setiap daerah, khususnya Garut menyumbang kekayaan permainan rakyat. Jati diri
masyarakat Garut semakin kuat dengan terlibatnya pada permainan rakyat yang
menunjukkan keberpihakan kepada budaya. Memupuk persatuan dan kesatuan di
kalangan anak dan dewasa bukanlah hal yang mustahil, dengan permainan rakyat,
elemen masyarakat terlibat dalam prosesnya, mulai dari pengenalan permainan
hingga melaksanakan permainnya. Hal ini sekaligus dapat mencerdaskan secara
kognitif dan psikomotorik bagi yang terlibat.
Pelestarian permainan rakyat di
kabupaten Garut merupakan langkah panjang dan terjal. Mewujudkan masyarakat
yang sadar terhadap warisan budaya menjadi prioritas. Di samping sebagai sebuah
tanggung jawab, masyarakat sebagai pelaku budaya, berperan sebagai tameng untuk
memastikan keberlanjutan budaya. Festival ataupun pagelaran belum cukup untuk
memajukan permainan rakyat Garut. Misalnya, perlu memastikan sumber daya,
sarana dan prasarana dan juga opsi-opsi lainnya yang dapat dilaksanakan serta
pelibatan masyarakat secara langsung untuk dapat menginisiasi Gerakan-gerakan
yang bersifat akar rumput. Selebrasi terhadap pencapaian majunya permainan
rakyat di garut diarahkan pada keberlangsungannya pra- ataupun pasca kegiatan.
Memastikan di setiap desa telah memiliki kantong-kantong kebudayaan yang
berasal dari masyarakat garut sendiri agar terjaminnya permainan rakyat tetap
dipraktikkan dan juga dikembangkan untuk tujuan memajukan kehidupan bangsa dan
negara.
[7]
http://garutnews.com/kaulinan-barudak-di-pilemburan-bernuansakan-kearifan-lokal.html
[9]
Hidayat, Dasrun. 2013.
Permainan Tradisional dan Kearifan Lokal Kampung Dukuh Garut Selatan Jawa
Barat. Vol. 5. No. 2. Jurnal Academica Fisip Untad
Comments
Post a Comment